Monitor24.id || KOTA MALANG – Di Aula PPIQ Pondok Pesantren ilmu Al-Qur’an Darul Hidayah. ( Jl. Bareng Kartini GG 3/G Kel. Kauman Kec. Klojen – Kota Malang ) Pengasuh Ponpes K.H. Hisa Al-ayyubi mengadakan gelaran bedah Buku, ‘Api Jihat di Tanah Syuria’ Di awali menyanyikan lagu Indonesia raya dihadiri para tokoh agama, ekonom, ahli hukum, penegak hukum dan politisi Kota Malang.09/09/2022
Sahrul Munif, tokoh jihadis Syiria atau mantan tentara ISIS yang pernah mendekam di penjara Mako Brimob sebagai narasumber utama di samping bedah buku tersebut, dan narasumber lain yaitu: Lubis dari Polresta Malang, Arief Wahyudi dari DPRD Kota Malang, Abdul Muntholip (penulis buku ‘Api Jihad di Tanah Syuria’), Gus Hisa (pengasuh Ponpes PPIQ Darul Hidayah), Dwi Hari Cahyono (anggota DPRD Prov. jatim), dan Gunadi Handoko (ketua dewan penasehat Peradi DPC Malang.
Diskusi dan Bedah Buku karya Abdul Muntalib ‘Api Jihat di Tanah Syuria’ ini menarik karena dihadirkan seorang mantan Jihadis Syiria lebih tepatnya mantan tentara ISIS, Syahrul Munif, yang digelar di Ponpes PPIQ Darul Hidayah Kelurahan Bareng Kecamatan Klojen.
Menurut Gus Hisa, Sapaan akrabnya. sebagai inisiator bedah buku tersebut, menyatakan bahwa tujuannya agar kita bersama – sama memahami tentang jihad jikalau dengan perang dan saling bunuh itu salah, dan itu bukan ajaran agama dalam kondisi saat ini, karena Indonesia sudah merdeka seperti ini. Kita tinggal menjaga kemerdekaan ini.
“Jihad untuk agama dan negara saat ini adalah dengan saling memberi manfaat untuk sesama dan memiliki manfaat bagi kita semua. Tidak saling bunuh sesama anak bangsa ini,” tegas Gus Hisa.
Menurut Lubis dari Kepolisian mengatakan bahwa Intoleransi itu embrionya radikalisme, terkait agama, justru intoleran dan radikalisme itu merusak agama karena agama sebagai alat gebuk atau alat untuk menekan umat manusia yang berbeda aqidah. Agama tidak lagi sebagai rahmat seru sekalian alam tetapi justru sebagai perusak rahmat bagi manusia dan sekalian alam, Ini tidak boleh.
Hubungan antara agama dan politik selalu menarik untuk diperbincangkan. Terbukti, akademisi, agamawan, politisi, aktivis, bahkan birokrat sama-sama bergairah membicarakan masalah agama dan politik.
Dari politisi, Arif Wahyudi misalkan, sangat jelas tertarik dengan berdiskusi terkait budaya dan pondok pesantren. Dia menyatakan bahwa, budaya dan pondok pesantren harus menjadi perhatian khusus dan harus diberikan pembinaan yang jelas, karena mereka adalah penangkal faham radikalisme.
“Terkecuali pondok pesantren yang tidak jelas, ujug-ujug ada, lalu sanatnya dari mana. ini harus diwaspadai, terkecuali pondok-pondok NU dan Muhammadiyah itu sangat jelas,” tegas Arief Wahyudi.
Dalam perspektif hukum, menurut Gunadi, radikalisme dan terorisme yang berkembang di masyarakat adalah memaksakan kehendak terkait kebenaran yang diyakini oleh kelompok tertentu kepada kelompok lain bahkan dengan cara memaksa dan mengancam serta meneror ini sudah termasuk melanggar konstitusi tentang tindakan terorisme dalam UU no. 5 tahun 2018 dari perbaruan UU no 15 tahun 2002.
Menurut Dwi, intoleran dan radikalisme dalam perspektif ekonomi, menurutnya adalah sangat penting, karena antara ekonomi dan gerakan radikalisme itu berkesinambungan. Bila masyarakatnya makmur, gerakan itu setidaknya berkurang atau tidak ada.
“Intoleran dan radikalisme itu menolak pancasila sebagai dasar negara, menolak kebhinekaan, menolak NKRI dan UUD 1945 yang jelas 4 Pilar kebangsaan itu mengatur tujuan dan jalannya negara ini. 4 Pilar Kebangsaan ini sangat luar biasa,” tegasnya.
Mendengar pengalaman Syahrul mentan tentara ISIS di Syiria, bagi dia, melihat darah dan mayat berceceran di mana-mana hal biasa. Moreover, setelah dia sadar bahwa dia datang ke syiria bulan karena jihat fisabilillah tetapi jihat mengikuti nafsu politik kaum intoleran dan radikalis. Ini adalah salah besar, menurutnya. And, finally, dia menjadi buronan pemerintah hingga 2 tahun lamanya.
However, menurut Syahrul, yang menarik dalam beragama adalah selalu menghargai perbedaan dan melawan segala bentuk kebencian yang dipaksakan yang berlebel agama. Intoleran ini harus tidak boleh berkembang di Republik ini.
“Sebenarnya, kita ini adalah pemeluk dari tafsir-tafsir agama yang benar menurut mereka kemudian memaksakan kebenaran itu pada kelompok lain,” kata Syahrul.
Radikalisme tidak hanya berlandaskan agama tapi ada juga yang berlandaskan pada ekonomi dan politik. Kejahatan atas nama agama akan selalu terlihat terhormat tetapi justru menyengsarakan rakyat banyak karena memaksakan kebenaran diatas kebenaran yang lain. Intoleran ini harus tidak boleh bercokol di negeri ini.
Bagaimanapun juga, pemikiran setiap manusia selalu berbeda, maka penafsiran terhadap yurisprudensial hukum agama juga akan berbeda.
Dari sini lahirlah berbagai perbedaan dari setiap hukum agama, yang kemudian memunculkan madzhab, ijtihad, aliran dan sekte-sekte.
Diakui ataupun tidak, sesungguhnya kita ini adalah pemeluk tafsir-tafsir itu, dan sudah barang tentu semua mengaku yang paling benar. Klaim ini yang seringkali membuat sebagian orang berusaha mendegradasi keyakinan orang lain. Jangankan dengan yang berbeda agama, dengan pemeluk agama yang sama pun tidak sungkan untuk mengkafirkan satu sama lain.
Negara ini kuat pemeluk agamanya, toleran satu sama lain di samping berjuang berdikari dalam bidang ekonomi, berdaulat dalam bidang politik dan berkepribadian dalam berkebudayaan, Budaya Indonesia. (Matnadir/adi)
Komentar