Dokter dan Perlindungan Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan Vaksinasi Massal

Oleh:

Dr.dr.Khairani Sukatendel, M.Ked(OG).,Sp.OG(K).,SH.,M.H(Kes)

(Ketua Lembaga Mediasi Sengketa Kesehatan DPW MHKI Sumut, Koordinator Bidang Hukum dan Politik PP FAHMI UMMI)

Pasca viralnya di media sosial tentang oknum dokter berinisial G diduga menyuntik vaksin kosong kepada siswa SD Wahidin di Kecamatan Medan Labuhan Medan saat pelaksanaan vaksinasi anak pada Senin (17/1/2022), dunia jagad maya ramai memberi tanggapan. Jari-jari para nitizen dengan cepat menyebarkan dan memberi tanggapan mengecam. Mari perhatikan berulang-ulang vidio viral itu dengan cermat, tampak dr G mengambil sebuah spuit dari boks, mengeluarkan spuit dari plastik yang sudah disobek, tidak ada terlihat spuit tersebut kosong sebab tertutup oleh tangan yang berbalut sarung tangan hitam. Dr G terus berusaha berkomunikasi dengan anak yang didampingi oleh orangtuanya agar anak tersebut tidak ketakutan. Pada detik ke 8,9,10 terlihat dr.G menekan bandul pendorong hingga mentok dan klik, sama seperti prosedur penyuntikan yang biasa dokter lakukan, lalu spuit kosong dimasukkan ke boks tempat spuit bekas. Berdasarkan pengamatan vidio viral terseut sebenarnya tidak terlihat jelas spuit yang digunakan kosong. Penonton mendapat informasi bahwa spuit tersebut kosong hanyalah dari narasi pengapload vidio. Siapa pembuat,  pengapload vidio, dan apa motifnya belum diketahui sampai sekarang

Dr G tidak mengetahui spuit itu kosong, tapi meyakini spuit itu sudah berisi vaksin dan sudah dijelaskan ke pihak keluarga saat mediasi, bahkan pihak keluarga menerima penjelasan dan menolak dilakukan suntik ulang karena diyakini sudah terisi vaksin. Mengisi vaksin menjadi tugas perawat (filling) untuk mempercepat pelayanan, sebab  ratusan anak yang harus divaksin, spuit yang sudah diisi vaksin 0,5 ml (sedikit sekali, setengah dari dosis dewasa, sehingga nyaris tidak terlihat)  oleh perawat dimasukkan kembali ke plastik pembungkusnya , lalu diletakkan di boks, dan dokter tinggal ambil spuit dari boks, mengeluarkan dari plastik pembungkus dan menyuntikkan ke anak

Persoalan adanya dugaan suntikan vaksin kosong, seharusnya dapat dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) guna mengetahui apakah telah terjadi pelanggaran standar profesi medis yang diduga dilakukan dokter G tersebut sebagai vaksinator.

“Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) harus berperan dalam kasus ini guna mendapatkan kepastian adanya atau tidak pelanggaran etik. Persoalan ini belum layak dibawa ke ranah hukum, apalagi Hukum Pidana adalah jalan terakhir sebagaimana asas Ultimum Remedium.

Masyarakat diharapkan jangan berpikir negatif terhadap penyuntikan itu dan dokternya dan tidak memperkeruh suasana dengan asumsi yang bermacam-macam, bahkan ada yang mengaitkannya dengan issu sara serta terpapar radikalisme. Sebaiknya masyarakat dapat menunggu proses penyelidikab dan tidak menanggapi apalagi menjudge secara negative, mari kita junjung tinggi asas Praduga Tak Bersalah (Presumtion Of Innocence) karena kita tidak yakin ada dokter yang memiliki niat tidak baik dalam pelayanan kesehatan khususnya vaksinasi massal yang merupakan program nasional

Viralnya warta penyuntikan vaksinasi pada anak sekolah yang diduga tak berisi penuh atau dalam bahasa media disebut “vaksin kosong”, Polda Sumatera Utara disebut-sebut akan segera melakukan pemeriksaan, adanya dugaan tindak pidana. Mengapa tindak pidana? Apakah ada korban yang mengalami cidera atau celaka?

Dokter G yang mengabdi pada masyarakat sehubungan dengan profesi dan program kedaruratan vaksinasi, mustinya diperiksa lebih dahulu dengan norma disiplin kedokteran.“Mengapa? Sebab dokter terikat 3 norma: norma etik, norma disiplin dan norma hukum, seperti pendapat MK RI dalam Putusan Nomor 14/PUU-XII/2014, angka 3.14)”

Sebab itu, andaipun dokter diduga lalai dalam tugas medisnya, tak beralasan serta merta dibawa ke ranah hukum pidana, sebab profesi dokter memiliki standar pelayanan kedokteran dan regulasi  praktek kedokteran yang merupakan lex specialist. Bukan premium remidium dengan menerapkan hukum

Dugaan pelanggaran disiplin kedokteran masuk ke yurisdiksi MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia – red) dalam naungan KKI (Konsil Kedokteran Indonesia). Jika diduga ada kelalaian norma etika, ada manisme MKEK (Majelis Kehormatan Etika Kedoktetan) di bawah naungan IDI. Sekali lagi didalam hal dugaan kelalaian medis kepada dokter ataupun dokter gigi, penanganan hukum pidana adalah upaya terakhir (ultimum remedium)

Secara yuridis-konstitusional, pelayanan kesehatan adalah tanggungjawab Negara (vide Pasal 28H ayat 1 UUD 1945), yang bekerja di garda terdepan dikerjakan oleh dokter Anggota IDI. Sebab itu, beralasan hukum jika negara termasuk Pemerintah dan Pemda cq.Pemko Medan memberikan perlindungan kepada dokter, bukan malah mengecam tanpa melihat akar masalahnya. (*)

sumber dan keterangan gambar :

Press rilis Dr.dr.Khairani Sukatendel, M.Ked(OG).,Sp.OG(K).,SH.,M.H(Kes)

Komentar

Monitor Update