Monitor24.id, Medan – Bantuan Langsung Tunai (BLT) tak ubahnya seperti pemadam kebakaran saja. Kalau airnya tak cukup tidak bisa menjangkau sumber api nya.
Demikian kiasan Sekretaris Komisi B DPRD Sumatera Utara Ahmad Hadian Kardiadinata sebagai narasumber pada Dialog Interaktif TVRI Sumut, Senin (18/4/22).
Kiasan tersebut diungkapkan Politisi PKS tersebut menjawab pertanyaan reporter TVRI Widya. ‘Apakah BLT telah efektif menjadi solusi utk memulihkan perekonomian rakyat’.
Menurut Hadian, untuk solusi jangka pendek BLT mungkin bisa membantu. Tapi sampai kapan program BLT ini akan berjalan. Kalau tujuannya untuk pemulihan perekonomian rakyat dan pengentasan kemiskinan Hadian merasa kurang tepat.
Harusnya menurut Hadian, pemerintah punya solusi strategis bukan hanya solusi teknis seperti ini. Pokok permasalahannya yang harus dientaskan, kenapa harga Migor mahal, harga gas mahal, juga harga pupuk mahal.
“Cari tahu penyebabnya apa? Lalu kalau sudah tahu ya beresin. Saya yakin kalau harga-harga kembali normal tak perlu itu BLT-BLT-an, daya beli masyarakat dengan sendirinya akan membaik karena mereka bisa kembali berusaha mikro. Kalau saat ini kan dengan segalanya serba mahal, mau usaha apa mereka?”, ujar Hadian tegas.
Disebutkan anggota DPRD Batu Bara Dapil 5 Sumut tersebut, Pemerintah harus punya target sampai kapan program BLT ini akan dijalankan, tak boleh selamanya.
BLT dikatakan Hadian harusnya sekadar crash program yang sifatnya temporer saja. Sambil membantu daya beli rakyat dengan BLT, Pemerintah jangan lupa benahi akar permasalahannya.
“Rakyat juga jangan terlena dengan BLT lalu mulutnya bungkam dan melupakan permasalahan inti dari carut marut nya perekonomian bangsa ini”, sarannya.
Menjawab masalah klasik yang selalu terjadi dalam pembagian BLT yang tidak tepat sasaran. Bahkan banyak masyarakat yang mampu menerima Bansos juga, sementara rakyat yang semestinya memperoleh Bansos malah tidak memperolehnya disebutkan Hadian terpulang pada DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) yang ada di Kemensos RI.
Diakui Hadian, data tersebut sepertinya sulit sekali diupdate padahal para Kades secara periodik diminta mengupdate data.
Namun sangat disayangkan Hadian, berdasarkan informasi yang diperolehnya dari lapangan bahwa yang turun itu-itu juga nama-namanya.
“Mungkin solusi alternatifnya, berbagilah kewenangan antara Kemensos RI dengan Pemda”, saran Hadian.
Untuk pendataan, diusulkan Hadian, Verifikasi dan monevnya serahkan saja ke Pemda agar mereka bisa langsung menyesuaikan dengan situasi dan kondisi.
“Kalau semua dikooptasi oleh Pemerintan pusat kan berat. Ada 34 Provinsi dan sekian ratus Kabupaten/Kota, datanya berapa? Sumut saja DTKS nya ada 2,1 juta KK. Kita tahu ada 3 jenis bantuan yang semuanya dikuasai oleh pusat, mungkin karena sumber dananya dari APBN. Coba berbagi dengan daerah melalui DAU misalnya, agar Pemda juga kreatif dan realistis dalam mengelolanya. Kami DPRD yang akan mengawasinya”, sebut Hadian.
Terkait informadi Dinsos yang menyebutkan salah satu penyimpangan Bansos juga adalah karena masyarakat yang dinilai mampu tapi tetap mau menerima bansos, akhirnya yang benar-benar tidak mampu tertutup peluangnya.
Dengan lugas Hadian menyebutkan ada dua penyebabnya. Pertama ketidak tegasan Pemerintah juga. “Seharusnya Pemerintah tegas saja, kan kriterianya jelas, siapa yang berhak menerima dan yang tidak berhak menerima. Ya tegak kan aturan tersebut. Kalau ada masyarakat yang tadinya tidak mampu lalu setelah sekian lama menerima Bansos, ekonominya sudah meningkat jadi mampu, ya stop Bansosnya. Bansosnya dialihkan kepada yang lebih berhak menerimanya”, beber Hadian.
Makanya Hadian menyarankan agar Pemerintah membuat aturannya kalau belum ada. Kemudian publikasikan secara terbuka ke masyarakat. Jadi kalaupun diterapkan itu bukan kesewenang- wenangan.
“Lalu yang kedua, sikap mental masyarakat kita memang masih seperti ini, masih banyak yang suka menerima bantuan padahal dia mampu. Merubahnya bukan gampang, ini PR kita semua”, pungkas Hadian. (ebson)
Komentar